MENUJU PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN
Kota
merupakan lambang peradaban kehidupan manusia, sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan dan wahana untuk
peningkatan kualitas hidup. Tetapi, sudah sejak lama pembangunan kota hanya
melulu mengindahkan aspek ekonomi semata. Pembangunan kota yang berorientasi
ekonomi seperti yang terjadi selama ini hanyalah menghasilkan berbagai
permasalahan baru menyangkut fisik, sosial budaya dan lingkungan. Dua puluh
enam tahun yang lalu, tepatnya tahun 1986, John Ormsbee Simonds dalam bukunya
yang berjudul Earthscape (dalam Budihardjo dan Sujarto, 2009) telah
mengingatkan bahwa para pengelola kota bersama kalangan pengusaha dan
masyarakat luas sedang bersama-sama melakukan apa yang disebutnya dengan
‘ecological suicide’ atau bunuh diri ekologis.
Setahun
setelah John Ormsbee Simonds melansir bukunya, pada tahun 1987 World Commission
on Environment and Development dibawah pimpinan Gro Harlem Bruntland
menerbitkan laporan yang bertajuk “Our Common Future”. Dalam laporan ini,
anggota komisi menyetujui satu isu utama yang penting, yaitu pada kenyataannya
banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan kemiskinan dan kemerosotan
serta kerusakan lingkungan. Kesepakatan ini meyakinkan para anggota komisi
bahwa suatu jalan baru untuk pembangunan perlu ditempuh, yaitu jalan yang akan
membawa kemajuan kemanusiaan, tidak saja hanya di beberapa bagian dunia untuk
sementara waktu, tapi untuk seluruh bagian dunia dan untuk jangka waktu yang
lebih lama. Dalam laporan ini, istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) mulai dipopulerkan. Menurut komisi Bruntland, sustainable
development (pembangunan berkelanjutan) adalah “pembangunan yang mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebagai suatu proses perubahan
dimana pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pembangunan dan
perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling
memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan
aspirasi manusia.”
Cita-cita
dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk
mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek
utama pembangunan yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan
hidup. Gagasan dibalik itu adalah, pembangunan ekonomi, sosial budaya dan
lingkungan hidup harus dipandang terkait satu sama lain, sehingga unsur-unsur
dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau
dipertentangkan satu dengan lainnya.
Mengingat
peran kota yang begitu besar pada masa kini dan mendatang, maka konteks
pembangunan kota yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai “pembangunan kota
yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi
global dengan mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya,
politik dan pertahanan keamanannya, tanpa mengabaikan atau mengurangi kemampuan
generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka.” Pembangunan kota yang
berkelanjutan harus menghasilkan ekonomi yang kuat, lingkungan yang serasi,
tingkat sosial yang relatif setara penuh keadilan, kadar peranserta masyarakat
yang tinggi dan konservasi energi yang terkendali dengan baik.
Beberapa
pemikir di bidang perencanaan dan perancangan kota, serta lingkungan buatan di
perkotaan, berpendapat bahwa untuk mencapai proses pembangunan kota yang
berkelanjutan, perlu perencanaan dan perancangan yang bersifat ekologis dan
berlandaskan etika lingkungan non-antroposentris. Taylor (dalam Gondokusumo,
2011) menyebutkan bahwa etika lingkungan non atroposentris memandang manusia
sebagai anggota komunitas hidup di dunia, seperti juga semua mahluk hidup
lainnya, dan mempunyai kedudukan yang sama dengan mahluk hidup lainnya.
Proses
pembangunan kota yang berkelanjutan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi
terhadap kondisi kawasan-kawasan di kota tersebut, proses-proses yang terjadi
di dalam masyarakat dan antara masyarakat dan lingkungannya. Evaluasi itu dapat
dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu cara adalah evaluasi berdasarkan
kriteria pembangunan berkelanjutan. Gondokusumo (2011) menyebutkan kriteria
pembangunan kota yang berkelanjutan sebagai 3 PRO, yaitu:
1. Pro
keadilan sosial, artinya keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya
alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan jender.
2. Pro
ekonomi kesejahteraan, artinya pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk
kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi
inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
3. Pro
lingkungan berkelanjutan, artinya etika lingkungan non antroposentris menjadi
pedoman hidup stakeholder di kota, sehingga para stakeholder ini selalu
mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumber daya
alam vital dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
Pembangunan
kota yang berkelanjutan mensyaratkan tidak hanya keberlanjutan sosial – ekonomi
– budaya, namun juga keberlanjutan lingkungan. Keberlanjutan lingkungan terkait
dengan dampak polusi dan konsumen di perkotaan tergantung pada daya dukung
lingkungan dan sumber daya alam seperti tanah, air dan energi. Sebagai penutup,
perlu ada pemahaman bahwa kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah ancaman
utama bagi pembangunan kota yang berkelanjutan.
0 komentar:
Posting Komentar