ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
PADA PEMBERIAN OTONOMI DAERAH
Makalah ini diajukan untuk
memenuhi tugas
Mata Kuliah Kebijakan Public
Disusun oleh :
IRFAN HIDAYAT
13520103
IP2L
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT
DESA “APMD”
Jalan Timoho 317, Yogyakarta
55225 Indonesia eMail info@apmd.ac.id
Telp. +62 274 561971 - Fax. +62 274 51598
Telp. +62 274 561971 - Fax. +62 274 51598
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Otonomi di daaerah adalah
sebuah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyrayakat setempat sesuai dengan
perturan perundang undangan. Yang
dikaitkan dalam dua nilai dasar yang terdapat pada UUD 1945 yang berkenan engan
pelaksanaan desentalisasi dan otonomi di daerah di Indonesia, yaitu pertama
tentang Nilai Unitaris yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
punya kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersiapat Negara, yang berarti
kedaulatan melekat di rakyat, bangsa bangsa dan Negara republik Indonesia tidak
akan terbagi di antara kesatuan kesatuan pemerintahan. Dan yang kedua yaitu
tentang Nilai dasar desentralisasi territorial, dari isi dan jiwa pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya bahwa pemerinttah ini wajib melaksanakan politik
desentralisasi dan politik dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Sebagai contoh
pada krisis ekonomi dan yang lainnya yang
melanda Indonesia pada tahun 1997 memberikan dampak positif dan dampak negatif
bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Di satu
sisi, krisis tersebut telah memberikan dampak yang luar biasa pada
kemiskinan, namun disatu sisi krisis tersebut juga memberi “berkah tersembunyi”
bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan
datang. Karena krisis ekonomi dan krisis-krisis yang lainnya yang dialami telah
membuka jalan bagi munculnya reformasi total tersebut adalah mewujudkan masyarakat
yang madani terciptanya good governance, dan mengembangkan model
pembangunan yang berkeadilan. Disamping itu reformasi juga telah memunculkan
sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial,
sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan
regulasi untuk pembaruan pradigma di berbagai bidang kehidupan.
Salah satu unsur reformasi
total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten
dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan.
Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah
menimbulkan rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam
mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi didaerah. Arahan dan
kebutuhan akan undang-undang yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut
menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati dan sehingga
pemerintah daerah sering kali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan,
bukan sebagai alat untuk pelayanan kepada masyarakat.
Kedua, tuntutan pemberian
otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era permainan baru yang
membawa aturan baru pada semua aspek kehidupan dimasa yang kana datang. Dimana
pada masa yang akan datang pemerintah akan kehilangan kendali pada banyak
persoalan seperti perdagangan internasional, informasi dan ide maupun keuangan.
Dengan banyaknya berbagai persoalan tersebut, maka pemerintah akan kesulitan
untuk menyelesaikan semua persoalan-persoalan yang sepele yang dihadapi oleh
masyarakat.
Untuk menghadapi permainan
baru yang penuh dengan aturan baru tersebut, dibutuhkan strategi baru. Berbagi
ketetapan MPR yang telah dihasilkan melalui sidang istimewa. Salah satu
ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang
“Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan keuangan pusat dengan daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” Dengan TAP MPR itulah
sebagai landasan keluarnya UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan
UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antar pemerintah Pusat dengan
Pemerintah daerah yang kan membawa angin segar bagi pengembangan otonomi
daerah. Kedua UU ini telah membawa perubahan mendasar pada pola hubungan antara
pemerintah pusat dengan daerah. Namun direvisi lagi dengan UU No.32 tahun 2004
sebagai koreksi kelemahan-kelemahan UU sebelumnya dan ditambah dengan pemilihan
langsung kepala daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah dikemukakan di atas, maka masalah tugas ini dapat dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut
1. Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah ?
2. Bagaimana pemerintah bias memberikan otonomi daerah ?
3. Bagaimana pengaruh pada daerah dengan melakukan otonomi daerah ?
4. Apa contoh bahwa otonomi daerah bisa membuat daerah
lebih mandiri dan lebih baik ?
1.3
Tujuan
Dalam penulisan tugas ini saya
mempunyai tujuan yang diantaranya yaitu :
Untuk
menambah pengetahuan saya dan pembaca mengenai kebijakan pemberian otonomi daerah.
1.4
Metode Pengumpulan Data
Dalam pembuatan tugas ini
saya menggunakan beberapa metode dalam melakukan pengumpulan data diantaranya
yaitu :
1.
Dengan mencari informasi dari internet tentang pemberian otonomi daerah.
2.
Dengan mencari informasi dari buku-buku yang berhubungan tentang pemberian
otonomi daerah..
3.
Dengan bertanya kepada orang-orang yang ahli dan lebih mengetahui tentang otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Perkembangan Otonomi Daerah
Dengan otonomi daerah berarti
telah memindahkan sebagian besar ke-wenangan yang tadinya berada di pemerintah
pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat
lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi
wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih
berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada
kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah,
serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah
otonom. Terpusatnya SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke
daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan
akan bergeser dari pusat ke daerah. Menguatnya isu Putra Daerahisme dalam
pengisian jabatan akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah, disamping itu
juga akan merusak rasa persatuan dan kesatuan yang telah kita bangun bersama
sejak jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Setiap manusia Indonesia dijamin
oleh konstitusi, memiliki hak yang sama untuk mengabdikan diri sesuai dengan
profesi dan keahliannya dimanapun di wilayah nusantara ini.
Yang perlu dikedepankan oleh
pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun
kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standard Pelayanan
Publik yang mudah, murah dan cepat. Untuk menciptakan kelembagaan pemerintah
daerah otonom yang mumpuni perlu diisi oleh SDM yang kemampuannya tidak
diragukan, sehingga merit system perlu dipraktekkan dalam pembinaan SDM di
daerah.
Meskipun UUD 1945 yang
menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan
otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi
daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh
kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan
otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa
perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik
yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai
pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :
- UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah
pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah
kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
- UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan
otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada
dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk
daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
- UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah
pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab
penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
- Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan
otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala
daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
- UU No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan
otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi
yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai
pelengkap saja
- UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S
PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan
ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974
pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya,
terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah
dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
- UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi
perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas,
nyata dan bertanggung jawab.
- UU No. 32 tahun 2004
Keluarnya UU ini merupakan
koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan Antara pemerintah Pusat dengan Daerah, juga dilengkapi dengan
sistem pemilihan langsung kepala daerah
II.2 Lebih Mengenal Tentang Kebijakan
Otonomi Daerah dalam Kontek UUD 1945
Suatu negara pasti memiliki
berbagai masalah dalam kehidupan masyarakatnya. Negara atau pemerintahan
memegang tanggung jawab pada kehidupan rakyatnya, negara atau pemerintahan
harus mampu menyelesaikan segala permasalahan-permasalahan yang terjadi. Untuk
mengatasinya diperlukan kebijakan yang berupa kebijakan publik atau kebijakan
yang berlaku secara umum bagi rakyatnya. Kebijakan publik yang akan dikeluarkan
diharapkan menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut. Berikut
penjelasan/ pengertian kebijakan menurut beberapa ahli:
1. Mustopadidjaja (2002) kebijakan publik adalah suatu keputusan yang
dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu
kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintahan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Thomas R.Dye (1981) kebijakan publik adalah apa yang tidak
dilakukan maupun dilakukan pemerintah.
3. Easton (1969) kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat.
4. Anderson (1975) kebijakn publik adalah kebijakan-kebijakan yang
dibangun oleh badan atau pejabat-pejabat pemerintahan.
5. Chandler dan Plano (1998) kebijakan publik adalah pemanfaatn yang
strategis terhadap sumberdaya-sumber daya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau pemerintah.
Menurut penulis kebijakan
publik adalah segala sesuatu yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi segala
masalah-masalah yang terjadi di dalam masyarakatnya. Kebijakan publik menitik
beratkan pemerintahan sebagai pembuat keputusan. Sebelum pemerintah memberikan
kebijakan publik, terdapat proses analisis kebijakan. Dunn (1994), menyatakan bahwa
proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan
yang bersifat politis.
Aktivitas politis tersebut
diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai
serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu :
1. Penyusunan agenda,
2. Formulasi kebijakan,
3. Adopsi kebijakan,
4. Implementasi kebijakan,
5. Penilaian kebijakan.
Sedangkan menurut Wayne
Parsons dalam bukunya “PUBLIK POLICY”, menyatakan analisis proses kebijakan
adalah bagaimana cara mendefinisikan problem, menetapkan agenda, merumuskan
kebijakan, mengambil keputusan, serta mengevaluasi dan mengimplementtasikan
kebijakan.
Karena begitu banyaknya
terdapat hal-hal yang mengenai kebijakan publik, bahasan yang akan dibahasa
dalam penulisan ini adalah otonomi daerah ditinjau dari segi pendidikan yang
terjadi. Berbicara mengenai otonomi daerah maka kita harus mengerti apa itu
otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Yang menjadi dasar hukum
otonomi daerah adalah UUD RI Tahun 1945 pasal 18, UU No. 32 Tahun 2004 dan
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2003. Ada pun tujuan
otonomi daerah antara lain:
1. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik,
2. Pengembangan kehidupan demokrasi,
3. Keadilan,
4. Pemerataan,
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta
antara daerah dalam rangka keutuhan NKRI,
6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat,
7. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Ketika tujuan umum dari sutu
organisasi telah ditentukan, itu bukan berarti bahwa proses keputusan telah
selesai, tugas ‘memutuskan’ ada di seluruh bagian administrasi organisasi.
Untuk memberi hak otonom
kepada suatu daerah setidaknya daerah harus mencukupi tiga aspek yang menjadi
syarat, sebagai berikut:
1. Administrasi
a. Untuk provinsi meliputi persetujuan DPRD provinsi dan gubernur
b. Untuk kabupaten meliputi persetujuan DPD kabupaten atau Bupati
2. Teknis
a. Kemampuan ekonomi
b. Potensi daerah
c. Sosial budaya
d. Sosial politik
e. Kependudukan
f. Luas daerah
g. Pertahanan
h. Keamanan
i. Faktor lain yang memungkinkan terselengaranya otonomi daerah
3. Fisik
a. Paling sedikit 5 kabupaten untuk provinsi
b. Paling sedikit 4 kecamatan untuk kabupaten
Bagaiman cara melihat bahwa
suatu daerah itu dikatakan berhasil menjalankan otonomi daerahnya atau bagaiman
suatu daerah menjalankan pemerintahannya dapat dilihat dari berbagai aspek.
Aspek-aspek tersebut dapat berupa pendapatan asli daerah (PAD), sumber daya
manusia (SDM), mutu pendidikan dan lain-lain.
Yang akan di bahas dalam
penulisan ini adalah bagaiman kualitas pendidikan Indonesia sejak pendidikan
itu berubah arah dari sentralistik menjadi desentralistik. Sejauh mana
daerah-daerah menyiapkan diri selama ini mengubah mutu pendidikan dan bagaiman
kualitas para guru selama reformasi ini.
II.3 Kebijakan Otonomi Daerah DalamKontek Pendidikan
Otonomi daerah dalam pendidikan
dapat juga disebut otonomi pendidikan, karena daerah-daerah diberi mandat
kebebasan mengatur manajemen pendidikan di setiap daerahnya masing-masing.
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua,
masyarakat dan Pemerintah.
Walaupun pemberian hak
otonom kepada daerah untuk menjalankan sendiri pendidikan di daerahnya,
pemerintah pusat juga mempunyai hak atau wewenang untuk melakukan intervensi pendidikan
berupa standard kompetensi siswa, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian
secara nasional, standard materi pelajaran pokok, gelar akademik, biaya
peyelenggaraan pendidikan, penerimaan perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa,
benda cagar budaya, dan kalender akademik.
Berikut konsep otonomi
pendidikan dalam konteks desentralisasi pendidikan menurut Tilaar yang mencakup
enam aspek, yakni:
1. Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah,
2. Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
3. Penguatan kapasitas manajemen pemerintahan daerah,
4. Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan,
5. Hubungan kemitraan “stakeholder” pendidikan, dan
6. Pengembangan infrastruktur sosial.
Dari penjelasan Tilaar dapat
disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas,
mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen
pendididkan itu sendiri.
Secara implikasinya bahwa
setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan
jauh ke depan dengan pengkajian yang mendalam dan meluas sesuai dengan
perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di
masa depan dan tindak lanjutnya. Kemandirian daerah harus diawali dengan
evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna
mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga penyusunan
strategi yang matang dan mantab dalam upaya mengangkat harkat dan martabat
masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi
pendidikan yang produktif.
Untuk mengoptimalkan
desentralisasi pendidikan yang dilakukan daerah-daerah memerlukan peran
masyarakat, karena sistem berfikir masyarakat adalah tongkat mutu pendidikan
suatu daerah. Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijaksanaan, tidak
sekedar dipandang sebagai loyalitas rakyat atas pemerintahnya, melainkan
kebijakan tersebut harus dianggap oleh masyarakat sebagai miliknya (Ali Imron
2008: 80).
Apabila pendidikan disingkirkan
dari tanggung jawab dan partisipasi masyarakat, maka pendidikan itu akan
menjadi asing dari masyarakat karena tidak memberikan jawab terhadap kebudayaan
nyata. Dengan kata lain pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya
masyarakatnya, adalah pendidikan yang tidak mempunyai akuntabilitas. Semakin
besar partisipasi masyarakat didalam pendidikannya, semakin tinggi pula
akuntabilitas pendidikan tersebut, termasuk di dalam relevansi pendidikan
terhadap kebutuhan yang nyata dalam masyarakat. Sistem desentralisasi
pendidikan yang telah dianut, memungkinkan peningkatan partisipasi masyarakat
di dalam usahanya untuk menciptakan masyarakat yang madani. Masyarakat madani
Indonesia yang secara keseluruhan menentukan akuntabilitas dan relevansi pendidikan.
II.4 Dampak Otonomi Daerah
Selain keuntungan yang
didapat serta diperoleh dengan adanya otonomi daerah juga ada sisi buruknya
malahan semakin memperburuk keadaan. Beberapa Bupati menetapkan peningkatan
ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka –suatu proses yang
semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah.
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh
dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunan bagi budget mereka. Kelompok-kelompok
masyarakat sipil menyerukan agar otonomi daerah dikembalikan pada jalur semula
–yang menjamin tujuan-tujuan awal untuk memperkuat demokrasi lokal. Selain itu,
mereka juga menyerukan agar desakan untuk membangun pemerintahan yang bersih tidak
dilupakan dalam arus cari untung dari sumber daya alam.
Sejalan dengan perjalanan
waktu, kebijakan tersebut menuai banyak persoalan, antara lain masalah
kordinasi antar daerah otonom tingkat provinsi dan kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung melakukan abuse
of power yang mengabaikan nilai etik dalam berpolitik, sulit melakukan
supervisi daerah otonom dan lain sebagainya. Kemudian Pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan
Daerah. Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan
untuk melakukan “resentralisasi” atas apa yang telah didesentralisasikan, namun
lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan menambah manfaat positif
dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama reformasi. Untuk membangun tata pemerintahan yang baik bagi kebaikan dan kesejahteraan rakyat, implementasi
otonomi daerah perlu terus dicermati, dievaluasi dan disempurnakan
II.5 Kelemahan Otonomi Daerah
Tidak heran jika wewenang
yang besar itu justru melahirkan penyimpangan, yaitu mengalirkan dana negara ke
kantong pribadi.serta terjadinya berbagai penyimpangan-penyimpangan lainnya
diantaranya
Berikut ini beberapa modus
korupsi di daerah:
1. Korupsi Pengadaan Barang
Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga
pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan
pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya
tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah,
panti asuhan dan jompo)
Modus :
a. Pemotongan dana bantuan sosial
b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif
Modus :
Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.
6. Penyelewengan dana proyek
Modus :
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan orang lain.
7. Proyek fiktif fisik
Modus :
Dana dialokasikan dalam
laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi
dan iuran.
Modus :
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan
riil.
9. Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor,
sekolah, asrama)
Modus :
a. Mark up nilai proyek
b. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor
10. Daftar Gaji atau honor fiktif
Modus : Pembuatan pekerjaan
fiktif.
11. Manipulasi dana
pemeliharaan dan renovasi fisik.
Modus :
a. Pemotongan dana pemeliharaan
b. Mark up dana pemeliharaan dan renovasi fisik
12. Pemotongan dana bantuan
(inpres, banpres)
Modus :
Pemotongan langsung atau tidak langsung oleh pegawai atau pejabat
berwenang.
13. Proyek pengembangan
Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif (tidak ada proyek atau intensitas)
Modus :
Tidak ada proyek atau intensitas yang tidak sesuai laporan.
Misalnya kegiatan dua hari dilaporkan empat hari.
14. Manipulasi ganti rugi
tanah dan bangunan
Modus :
Pegawai atau pejabat pemerintah yang berwenang tidak memberikan
harga ganti rugi secara wajar atau yang disediakan.
15. Manipulasi biaya sewa
fasilitas dan transportasi
Modus :
Manipulasi biaya penyewaan
fasilitas pemerintah kepada pihak luar
16. Pembayaran fiktif uang
lauk pauk Pegawai Negeri sipil, prajurit, tahanan dan lain-lain
Modus :
a. Alokasi fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri Sipil, prajurit
tahanan dalam catatan resmi seperti APBD.
b. Menggunakan kuitansi fiktif.
17. Pungli Perizinan; IMB,
sertifikat SIUPP, besuk tahanan, ijin tinggal, ijin TKI, ijin frekuensi, impor
ekspor, pendirian apotik, RS, klinik, Delivery Order pembelian sembilan
bahan pokok agen dan distributor.
Modus :
a. Memungut biaya tak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus
perijinan.
b. Mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.
18. Pungli kependudukan dan
Imigrasi
Modus :
a. Memungut biaya tidak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus
perijinan.
b. Mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.
19. Manipulasi Proyek
Pengembangan Ekonomi Rakyat
Modus : Penyerahan dalam
bentuk uang.
20. Korupsi waktu kerja
Modus :
a. Meninggalkan pekerjaan
b. Melayani calo yang memberi uang tambahan
c. Menunda pelayanan umum
BAB III
PENUTUP
Pelaksanaan
otonomi daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas
Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana
perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan
dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan pelaksanaan
Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka
pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah
maupun dari para anggota DPRD. Untuk itu maka keluarlah UU No.32 tahun 2004
sebagai ganti dari UU sebelumnya serta koreksi total atas segala
kelemahan-kelemahan yang ada pada UUNo.22 tahun 1999.
Untuk
menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik
mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau
kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan
mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi
kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean
government.
Bila semua
daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis,
maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin
juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu
menjadi negara besar yang diakui dunia.
Desentralisasi
pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk
mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap
perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya.
Perubahan paradigma sistem pendidikan membutuhkan masa transisi. Reformasi
pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan para
pelaku maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah.
Belajar
dari pengalaman sebelumnya yang sentralistik dan kurang demokratis membuat
bangsa ini menjadi terpuruk. Marilah kita melihat kepentingan bangsa dalam arti
luas dari pada kepentingan pribadi atau golongan atau kepentingan pemerintah
pusat semata dengan menyelenggarakan otonomi pendidikan sepenuh hati dan
konsisten dalam rangka mengangkat harkat dan martabat bangsa dan masyarakat
yang berbudaya dan berdaya saing tinggi sehingga bangsa ini duduk sejajar
dengan bangsa-bangsa maju di dunia.
Demokratisasi
pendidkan(desentralistik pendidikan) harus dimulai dari proses evaluasi
pengembangan kurikulum, dan tidak hanya sekedar konteks pe-nyusunan kurikulum
sekolah secara keseluruhan, tetapi juga pengimplementasinya pada setiap mata
pelajaran disetiap level tertentu. Mengenai guru, sebaiknya guru melakukan tes
kompetensi kepada siswanya di awal pembelajaran untuk menetapkan batas-batas
awal kurikulum yang harus dibelajarkan, serta mengukur waktu yang diperlukan
untuk mencapai batas kompetensi tertentu dengan kualitas input yang mereka
terima. Proses pembelajaran yang dilakukan guru harus demokratis, yakni semua
siswa dalam semua kategori memperoleh layanan yang wajar dari guru, bahkan guru
sebaiknya bertanya pada siswanya tentang pokok bahasan yang ingin mereka
pelajari, berikut bentuk-bentuk penugasannya, lalu dibahas bersama sehingga
sampai pada kesepakatan dengan tidak mengabaiakan tujuan pembelajaran, dan
target-target kurikuler yang harus dicapai. Pendekatan collaborative learning
diharapkan mampu menumbuhkan rasa memiliki siswa terhadapa program pembelajaran
yang dilakukan, penghargaan yang wajar pada siswa, dan gairah belajar siswa
harus ditingkatkan.
DARFTAR PUSTAKA
Imron, Ali., 2008. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia :
proses produk dan masa depannya. Jakarta : Bumi Aksara.
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., 2007. Paradigma Pendidikan
Demokrasi : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Persons, Wayne., 2006. Public Policy : Pengantar Teori dan
Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
M. Cham, Sam dan T.Sam, Tuti., 2005. Analisis SWOT : Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Kumandar, S.Pd., M.Si., 2007. Guru Profesional : Implementasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Harian Umum Republika edisi 22 November 2000, 10 Januari 2001, 9 Maret
2001 dan 20 Maret 2001.
Kasim,Azhar 1993, Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi, Lembaga
Penerbit FEUI bekerjasama dengan Pusat antar universitas Ilmu-ilmu Sosial UI.
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5
1974.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Otonomi
Daerah.
www.Google.co.idPerkembangan
Otonomi Daerah di Indonesia.
www.Google.co.idOtonomi
Daerah Dan Pelayanan Publik.
0 komentar:
Posting Komentar