MASALAH SOSIAL YANG TERJADI
DI MASYARAKAT
Tugas ini diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sistem Sosial Dan Budaya
Disusun
oleh :
·
IRFAN HIDAYAT 13520103
·
DASA 1352
·
M. ADUM
PAMUNGKAS 13520004
·
IP4L
PEMERINTAH
KOTA YOGYAKARTA
SEKOLAH
TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
Jalan
Timoho 317, Yogyakarta 55225 Indonesia eMail info@apmd.ac.id
Telp. +62 274 561971 - Fax. +62 274 51598
Telp. +62 274 561971 - Fax. +62 274 51598
Pengertian
Masalah Sosial dan Jenis/Macam Masalah Sosial Dalam Masyarakat :
Menurut Soerjono Soekanto masalah
sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau
masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan
antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti
kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah sosial muncul akibat
terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita
yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial
dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah,
organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
1. FaktorEkonomi :Kemiskinan,
pengangguran, dll
Faktor Ekonomi, faktor ini merupakan
faktor terbesar terjadinya masalah sosial. Apalagi setelah terjadinya krisis
global PHK mulai terjadi di mana-mana dan bisa memicu tindak kriminal karena
orang sudah sulit mencari pekerjaan.
2. Faktor
Budaya :Perceraian,
kenakalan remaja, dll
Faktor Budaya, Kenakalan remaja
menjadi masalah sosial yang sampai saat ini sulit dihilangkan karena remaja
sekarang suka mencoba hal-hal baru yang berdampak negatif seperti narkoba,
padahal remaja adalah aset terbesar suatu bangsa merekalah yang meneruskan
perjuangan yang telah dibangun sejak dahulu.
3. Faktor
Biologis :Penyakit
menular, keracunan makanan, dsb
Faktor Biologis, Penyakit menular bisa
menimbulkan masalah sosial bila penyakit tersebut sudah menyebar disuatu
wilayah atau menjadi pandemik.
4. Faktor
Psikologis :penyakit
syaraf, aliran sesat, dsb
Faktor
Psikologis, Aliran sesat sudah banyak terjadi di Indonesia dan meresahkan
masyarakat walaupun sudah banyak yang ditangkap dan dibubarkan tapi aliran
serupa masih banyak bermunculan di masyarakat sampai saat ini.
Masalah sosial menemui pengertiaannya
sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan dianggap dapat merugikan
kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang telah
disepakati. Keberadaan masalah sosial ditengah kehidupan masyarakat dapat
diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan analitis, yang
salah satunya berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah sosial
diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca aspek masalah
secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person blame
approach dan system blame approach (hlm. 153).
Person blame approach merupakan
suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada level individu. Diagnosis
masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Sumber masalah sosial
dilihat dari faktor-faktor yang melekat pada individu yang menyandang masalah.
Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya yang
mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya.
Sedang pendekatan kedua system blame approach
merupakan unit analisis untuk memahami sumber masalah pada level sistem.
Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan struktur sosial lebih dominan
dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga masyarakat tunduk dan
dikontrol oleh sistem. Selaras dengan itu, masalah sosial terjadi oleh karena
sistem yang berlaku didalamnya kurang mampu dalam mengantisipasi
perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk penyesuaian antar komponen dan unsur
dalam sistem itu sendiri.
Dari kedua pendekatan tersebut dapat
diketahui, bahwa sumber masalah dapat ditelusuri dari ”kesalahan" individu
dan "kesalahan" sistem. Mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut
akan sangat berguna dalam rangka melacak akar masalah untuk kemudian dicarikan
pemecahannya. Untuk mendiagnosis masalah pengangguran misalnya, secara lebih
komprehensif tidak cukup dilihat dari faktor yang melekat pada diri penganggur
saja seperti kurang inovatif atau malas mencari peluang, akan tetapi juga perlu
dilihat sumbernya masalahnya dari level sistem baik sistem pendidikan, sistem
produksi dan sistem perokonomian atau bahkan sistem sosial politik pada tingkat
yang lebih luas.
Anak jalanan: Dilema?
Sebenarnya isltilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan
atau Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup dijalanan
umumnya sudah tidak memiliki ikatan tali dengan keluarganya.Anak-anak pada
kategori ini pada umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau
criminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi sebagai anak-anak
dilinguent. Istilah ini menjadi rancu ketika dicoba digunakan di negara
berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih memiliki ikatan dengan
keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah hidup dijalanan bagi mereka yang
sudah tidak memiliki ikatan keluarga, bekerja dijalanan bagi mereka yang masih
memiliki ikatan dengan keluarga. Di Amerika Serikat juga dikenal istilah
Runauay children yang digunakan bagi anak-anak yang lari dari orang tuanya.
Walaupun pengertian anak jalanan
memiliki konotasi yang negatif di beberapa negara, namun pada dasarnya dapat
juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja dijalanan yang bukan hanya
sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan
anak yang karena pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar baik secara jasmnai, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan
antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja dan
lain sebagainya.
Anak jalanan ini pada umumnya
bekerja pada sector informal. Phenomena munculnya anak jalanan ini bukanlah
karena adanya transformasi system social ekonomi dan masyarakat pertanian ke
masyarakat pra-industri atau karena proses industrialisasi. Phenomena ini muncul
dalam bentuk yang sangat eksploratif bersama dengan adanya transformasi social
ekonomi masyarakat industrialsasi menuju masyarakat yang kapitalistik.Kaum
marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai, diantaranta nilai tentang
anak. Anak, dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai beban, tetapi
sekaligus dipandang sebagai factor ekonomi yang bisa dipakai untuk mengatasi
masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, nilai anak dalam pandangan orang tua
atau keluarga tidak lagi dilihat dalam kacamata pendidikan, tetapi dalam
kepentingan ekonomi. Sementara itu, nilai pendidikan dan kasih saying semakin
menurun. Anak dimotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Dalam konteks permasalahan anak
jalanan, masalah kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama timbalnya anak
jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari latar belakang geografis, social
ekonomi anak yang memang datang dari daerah-daerah dan keluarga miskin di
pedesaan maupun kantong kumuh perkotaan. Namun, mengapa mereka tetap bertahan,
dan terus saja berdatangan sejalan dengan pesatnya laju pembangunan?Ada banyak
teori yang bisa menejlaskan kontradiksi-kontradiksi antara pembangunan dan
keadilan-pemerataan, desa dan kota, kutub besar dan kutub kecil, sehingga lebih
jauh bia terpetakan lebih jela persoalan hak asasi anak. Meskipun demikian,
kemiskinan bukanlah satu-satunya factor penyebab timbulnya masalah anak
jalanan. Dengan demikian, adanya sementara anggapan bahwa masalah anak jalanan
akan hilang dengan sendirinya bila permasalahan kemiskinan ini telah dapat
diatasi, merupakan pandangan keliru.
Masyarakat
Dan Negara :
Parillo menyatakan, kenyataan paling
mendasar dalam kehidupan sosial adalah bahwa masyarakat terbentuk dalam suatu
bangunan struktur. Melalui bangunan struktural tertentu maka dimungkinkan
beberapa individu mempunyai kekuasaan, kesempatan dan peluang yang lebih baik
dari individu yang lain (hlm. 191). Dari hal tersebut dapat dimengerti apabila
kalangan tertentu dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dari kondisi sosial
yang ada sekaligus memungkinkan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan, sementara
dipihak lain masih banyak yang kekurangan.
Masalah sosial sebagai kondisi yang
dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya selalu
mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dalam
konteks tersebut, upaya pemecahan sosial dapat dibedakan antara upaya pemecahan
berbasis negara dan berbasis masyarakat. Negara merupakan pihak yang sepatutnya
responsif terhadap keberadaan masalah sosial. Perwujudan kesejahteraan setiap
warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan
negara. Di lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah
sosial jika menghendaki kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik.
Salah satu bentuk rumusan tindakan
negara untuk memecahkan masalah sosial adalah melalui kebijakan sosial. Suatu
kebijakan akan dapat dirumuskan dengan baik apabila didasarkan pada data dan
informasi yang akurat. Apabila studi masalah sosial dapat memberikan informasi
yang lengkap dan akurat maka bararti telah memberikan kontribusi bagi perumusan
kebijakan sosial yang baik, sehingga bila diimplementasikan akan mampu
menghasilkan pemecahan masalah yang efektif.
Upaya pemecahan sosial sebagai muara
penanganan sosial juga dapat berupa suatu tindakan bersama oleh masyarakat
untuk mewujudkan suatu perubahan yang sesuai yang diharapkan. Dalam teorinya
Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya
dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif. Tindakan kolektif dapat dilakukan
oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.
Contoh lain
dari masalah sosial yang terjadi dalam penyalahgunaan sistem sosial :
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Banyuwangi, Jawa Timur, telat membayarkan
klaim kesehatan bulan Januari kepada 11 rumah sakit di Kabupaten Banyuwangi,
Situbondo dan Bondowoso. Penyebab keterlambatan itu karena jumlah verifikator
data yang terbatas.
Direktur
RSUD Blambangan Banyuwangi, Taufiq Hidayat, mengatakan, BPJS baru membayarkan
klaim Rp 1 miliar dari Rp 2 miliar total klaim bulan Januari 2014.
Keterlambatan itu, kata dia, karena BPJS hanya menempatkan 1 orang verifikator
data klaim di RSUD Blambangan. Namun petugas itu tidak hanya memverifikasi data
klaim, melainkan juga merangkap dengan pekerjaan administrasi lain. "Padahal
data yang harus diverifikasi ribuan," kata Taufiq Hidayat, Kamis 6 Maret
2014.Menurut Taufiq bila petugas tidak ditambah maka keterlambatan klaim akan
terus berlanjut. Sehingga dikhawatirkan mengganggu pelayanan rumah sakit. "Seharusnya
bulan ini memverifikasi klaim Februari, tapi Januari saja belum selesai,"
kata dia.
Kepala
BPJS Kesehatan Banyuwangi, Adi Sumarno, membenarkan adanya keterlambatan itu.
Menurut dia, sambil menunggu verifikasi selesai, pihaknya telah memberikan uang
muka pembayaran klaim sebesar total Rp 8 miliar ke 7 rumah sakit. "Supaya
tak mengganggu pelayanan rumah sakit kami beri uang muka dulu," katanya.
Dia memprediksi total klaim 11 rumah sakit mencapai Rp 16 miliar. Menurut Adi,
selain petugas yang minim, keterlambatan pembayaran klaim karena banyak data
peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang belum masuk server
seperti kepesertaan TNI/Polri. Sehingga data TNI/Polri yang berobat terpaksa
ditulis secara manual."Pembuatan kartu kepesertaan TNI/Polri belum
rampung," kata dia. Sementara klaim untuk puskesmas di tiga kabupaten
telah dibayarkan pada pertengahan Februari lalu sebesar Rp 15 miliar. BPJS
Banyuwangi hanya memiliki 30 petugas yang harus dibagi ke-11 rumah sakit yakni
tujuh rumah sakit di Kabupaten Banyuwangi, dua rumah sakit di Situbondo, dan
dua rumah sakit di Bondowoso. Jadi, setiap rumah sakit hanya dilayani satu
hingga dua petugas. Perekrutan petugas baru, kata dia,merupakan wewenang dari
BPJS Pusat dan Provinsi Jatim.
0 komentar:
Posting Komentar