Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik
Melalui Akuntansi Sektor Publik : Suatu Sarana Good Governance
Oleh Prof Dr. Mardiasmo*)
PENDAHULUAN
Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan limpahan
Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu
seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional
masih diatur Pemerintah Pusat.
Pendelegasian
kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka Desentralisasi
Fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme
perimbangan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah. Kewenangan untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sedangkan pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui Dana Perimbangan
yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
(Undang-Undang No. 33 tahun 2004).
Implikasi
langsung pendelegasian kewenangan dan penyerahan dana tersebut adalah kebutuhan
untuk mengatur hubungan keuangan antara Pusat-Daerah dan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara mengatur antara lain pengelolaan keuangan daerah dan
pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut meliputi penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis prestasi kerja dan laporan
keuangan yang komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk
merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggunganjawaban keuangan
tersebut, pengembangan dan pengaplikasian akuntansi sektor publik sangat
mendesak dilakukan sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan
akuntabilitas publik untuk mencapai good governance (accounting for
governance).
Penyusunan APBD
berbasis prestasi kerja atau kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja,
indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar
pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya,
pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap
kepentingan masyarakat.
PEMERINTAH YANG RESPONSIF, TRANSPARAN, DAN
AKUNTABEL SEBAGAI BAGIAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Bank Dunia
memberikan definisi governance sebagai cara pemerintah mengelola sumber
daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan United
Nation Development Program (UNDP) lebih memfokuskan pada cara pengelolaan
negara dengan mempertimbangkan aspek politik yang mengacu pada proses pembuatan
kebijakan;aspek ekonomi yang mengacu pada proses pembuatan keputusan yang
berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, serta peningkatan
kualitas hidup; dan yang terakhir aspek administratif yang mengacu pada sistem
implementasi kebijakan.
Dengan
demikian, orientasi pembangunan sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan good
governance. Lebih jauh, UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good
governance, antara lain transparency, responsiveness, consensus
orientation, equity, efficiency dan effectiveness, serta accountability.
Dari karakterikstik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat
diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu terwujudnya transparansi, value
for money, dan akuntabilitas.
Dalam
memberikan layanan kepada masyarakat, pemerintah daerah dituntut lebih
responsif atau cepat dan tanggap. Terdapat 3 (tiga) mekanisme yang dapat
dilaksanakan daerah agar lebih responsif, transparan, dan akuntabel serta
selanjutnya dapat mewujudkan good governance yaitu: (1) mendengarkan
suara atau aspirasi masyarakat serta membangun kerjasama pemberdayaan
masyarakat, (2) memperbaiki internal rules dan mekanisme pengendalian,
dan (3) membangun iklim kompetisi dalam memberikan layanan terhadap masyarakat
serta marketisasi layanan. Ketiga mekanisme tersebut saling berkaitan dan
saling menunjang untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan pemerintahan daerah.
Manajemen
risiko (risk management) merupakan salah satu aspek pengelolaan keuangan
penting lainnya dalam pewujudan good governance. Manajemen risiko
dilakukan untuk meminimumkan kerugian yang mungkin terjadi akibat dari adanya ketidakpastian
(uncertainty) masa depan.
Risiko yang
terjadi akibat ketidakpastian masa depan tidak saja dialami oleh sektor swasta,
namun juga oleh organisasi sektor publik, termasuk pemerintahan, menghadapi hal
yang sama. Risiko akibat ketidakpastian masa depan yang dihadapi oleh
organisasi sektor publik terkait dengan: (1) kemungkinan terjadi perubahan
politik yang tidak menguntungkan, misalnya terjadi instabilitas politik
nasional dan lokal, (2) kemungkinan terjadi perubahan politik dan ekonomi
regional dan internasional, seperti krisis ekonomi dan mata uang, depresi
ekonomi, konflik antar negara, perang, dan sebagainya, (3) kemungkinan terjadi
kriminalitas ekonomi tingkat tinggi sehingga mengganggu perekonomian negara,
seperti money laundering, white collar crime, mafia perbankan, pajak,
bea cukai, dan sebagainya, (4) kemungkinan terjadi kegagalan hukum yang
berimplikasi pada keuangan negara, seperti munculnya mafia peradilan, dan (5)
kemungkinan terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.
AKUNTABILITAS PUBLIK DAN TRANSPARANSI
Fenomena
yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah
menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas
dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan
atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang
dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003).
Pada
dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure)
atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan
(Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus
dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik
yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar
aspirasinya.
Dimensi
akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas
manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas
finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan bagian terpenting untuk
menciptakan kredibilitas manajemen pemerintah daerah. Tidak dipenuhinya prinsip
pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas. Jika masyarakat
menilai pemerintah daerah tidak accountable, masyarakat dapat menuntut
pergantian pemerintahan, penggantian pejabat, dan sebagainya. Rendahnya tingkat
akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi dan mengurangi kemampuan
untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.
Manajemen
bertanggung jawab kepada masyarakat karena dana yang digunakan dalam penyediaan
layanan berasal dari masyarakat baik secara langsung (diperoleh dengan
mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri), maupun tidak langsung (melalui
mekanisme perimbangan keuangan). Pola pertanggungjawaban pemerintah daerah
sekarang ini lebih bersifat horisontal di mana pemerintah daerah bertanggung
jawab baik terhadap DPRD maupun pada masyarakat luas (dual horizontal
accountability). Namun demikian, pada kenyataannya sebagian besar
pemerintah daerah lebih menitikberatkan pertanggungjawabannya kepada DPRD
daripada masyarakat luas (Mardiasmo, 2003a).
Governmental Accounting Standards Board (GASB, 1999) dalam Concepts Statement
No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa
akuntabilitas merupakan dasar pelaporan keuangan di pemerintahan yang didasari
oleh adanya hak masyarakat untuk mengetahui dan menerima penjelasan atas
pengumpulan sumber daya dan penggunaannya. Pernyataan tersebut menunjukkan
bahwa akuntabilitas memungkinkan masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban
pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan
pula bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam
pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja
keuangan aktual dengan yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan
hasil-hasil operasi, membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan
perundangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta
membantu dalam mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.
Pembuatan
laporan keuangan adalah suatu bentuk kebutuhan transparansi yang merupakan
syarat pendukung adanya akuntabilitas yang berupa keterbukaan (opennes)
pemerintah atas aktivitas pengelolaan sumber daya publik. Transparansi
informasi terutama informasi keuangan dan fiskal harus dilakukan dalam bentuk
yang relevan dan mudah dipahami (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Transparansi
dapat dilakukan apabila ada kejelasan tugas dan kewenangan, ketersediaan
informasi kepada publik, proses penganggaran yang terbuka, dan jaminan
integritas dari pihak independen mengenai prakiraan fiskal, informasi, dan
penjabarannya (IMF, 1998 dalam Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pada saat ini,
Pemerintah sudah mempunyai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang merupakan
prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan
keuangan (PP No. 24 Tahun 2005).
VALUE FOR MONEY
Value for money (VFM)merupakan konsep pengelolaan yang mendasarkan
pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi
adalah pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada
harga yang terendah. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor
publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan dengan
menghindari pengeluaran yang boros. Efisiensi merupakan pencapaian output yang
maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang
terendah untuk mencapai output tertentu. Efektivitas adalah tingkat
pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana,
efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output.
Ketiga hal
tersebut merupakan elemen pokok value for money yang saling terkait. Ketiga
elemen tersebut perlu ditambah dengan dua elemen lagi yaitu keadilan (equity)
dan pemerataan atau kesetaraan (equality). Keadilan mengacu pada adanya
kesempatan sosial yang sama untuk mendapatkan layanan publik berkualitas dan
kesejahteraan ekonomi. Selain keadilan, perlu dilakukan distribusi secara
merata. Artinya, penggunaan uang publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada
kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan secara merata dengan keberpihakan
kepada seluruh rakyat (Mardiasmo, 2002a).
KUNTANSI SEKTOR PUBLIK
Akuntansi
sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi
pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks dibandingkan
sektor swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan keluasan
jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya, tetapi juga kompleksitas
lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut.
Secara
kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan pemerintahan
(Pemerintah Pusat dan Daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik
negara dan daerah (BUMN dan BUMD), yayasan, universitas, organisasi politik dan
organisasi massa, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Jika
dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
politik, sosial, budaya, dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam
pengertian, cara pandang, dan definisi. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor
publik dapat dipahami sebagai entitas yang aktivitasnya menghasilkan barang dan
layanan publik dalam memenuhi kebutuhan dan hak publik.
American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan
bahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan
informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber
daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis,
serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan
pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik.
Dengan demikian, akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi
untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Kerangka
transparansi dan akuntabilitas publik dibangun paling tidak atas lima komponen,
yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran kinerja, sistem pelaporan
keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel of public accountability),
dan auditing sektor publik yang dapat diintegrasikan ke dalam tiga
bagian akuntansi sektor publik, yaitu: Akuntansi Manajemen Sektor Publik,
Akuntansi Keuangan Sektor Publik, dan Auditing Sektor Publik.
AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK
Peran
utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah memberikan
informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk melaksanakan
fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen. Fungsi perencanaan meliputi
perencanaan strategik, pemberian informasi biaya, penilaian investasi, dan
penganggaran, sedangkan fungsi pengendalian meliputi pengukuran kinerja.
Informasi yang diberikan meliputi biaya investasi yang dibutuhkan serta
identifikasinya, penilaian investasi dengan memperhitungkan biaya dengan
manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan penilaian
efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis), serta jumlah anggaran
yang dibutuhkan.
Dalam
perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik dari sektor swasta
memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan meninggalkan
administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM),
yang memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan
akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam
sektor publik.
Penerapan
NPM dipandang sebagai suatu bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan,
atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi (Pecar, 2002). Perubahan
dimulai dari proses rethinking government dan dilanjutkan dengan reinventing
government (termasuk didalamnya reinventing local government) yang
mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan
masyarakat (Mardiasmo, 2002b; Ho, 2002; Osborne and Gaebler, 1993; dan Hughes,
1998). Perubahan teoritis, misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen
publik, pemangkasan birokrasi pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah
meluas di seluruh dunia meskipun secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di
hampir setiap negara mengarah pada penggunaan anggaran berbasis kinerja,
manajemen berbasis outcome (hasil), dan pengunaan akuntansi accrual
meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan (Hoque, 2002; Heinrich, 2002).
Polidano (1999) dan Wallis dan Dollery (2001) menyatakan bahwa NPM merupakan
fenomena global, akan tetapi penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized
contingencies.
Walaupun
penerapan NPM bervariasi, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki
efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas, dan memperbaiki
akuntabilitas manajerial. Pemilihan kebijakannya pun hampir sama, antara lain
desentralisasi (devolved management), pergeseran dari pengendalian input
menjadi pengukuran output dan outcome, spesifikasi kinerja yang
lebih ketat, public service ethic, pemberian reward and punishment,
dan meluasnya penggunaan mekanisme contracting-out (Hood, 1991; Boston et
al.,1996 dalam Hughes and O’Neill, 2002; Mulgan, 1997).
NPM
memberikan kontribusi positif dalam perbaikan kinerja melalui mekanisme pengukuran
yang diorientasikan pada pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektivitas
meskipun penerapannya tidak bebas dari kendala dan masalah. Masalah tersebut
terutama berakar dari mental birokrat tradisional, pengetahuan dan ketrampilan
yang tidak memadai, dan peraturan perundang-undangan yang tidak memberikan
cukup peluang fleksibilitas pembuatan keputusan (Pecar, 2002).
Penerapan
NPM seharusnya didukung dengan penerapan Public Expenditure Management (PEM)
dalam pengalokasian dan penggunaan sumber daya secara responsif, efektif, dan
efisien (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). PEM tidak hanya dikaitkan dengan
pengeluaran, tetapi juga memperhatikan pendapatan sebagai suatu kesatuan,
sehingga kooperasi aparat pajak dengan aparat penganggaran untuk berbagai hal
seperti budget forecasting, macroeconomic framework formulation, trade-offs
between outright expenditures, dan tax concessions adalah suatu
keharusan.
Dalam
kerangka desentralisasi, PEM dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi ekonomi,
sosial, dan kemampuan daerah serta memperhatikan local factor endowments,
institusi daerah, dan kebutuhan daerah dalam perspektif jangka panjang.
Penerapan PEM dilaksanakan untuk mewujudkan agregate fiscal discipline,
allocative efficiency, dan operational efficiency (Schiavo-Campo and
Tomasi, 1999; Campos, 2001). Hal tersebut dapat dilaksanakan apabila StrategicManagementAccounting
(SMA) diterapkan dalam pemerintahan. SMA membantu penyediaan informasi,
pengendalian, dan evaluasi kinerja meskipun lingkungan dan kebutuhan organisasi
terus berubah karena SMA menekankan continual feedback dan orientasi
jangka panjang dalam membuat keputusan strategis dan menilai efektivitasnya
(Hoque, 2002).
Dalam
perkembangannya, konsep value for money diperluas dengan penerapan best
value performance framework yang menunjang reformasi layanan publik.
Reformasi layanan publik meliputi empat hal mendasar yaitu adanya standar
nasional, keleluasaan dalam menyediakan layanan, fleksibilitas organisasi, dan
eksplorasi jenis layanan yang dapat disediakan (ODPM, 2003). Layanan masyarakat
seharusnya mempunyai kriteria seperti adanya standar yang tinggi dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakatnya serta dapat diakses oleh masyarakat yang
membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif merupakan sesuatu yang relatif
yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar pelayanan minimal (SPM) atau minimum
standard level of public services. Indonesia saat ini sudah mempunyai PP
No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan
pokok best value adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan
sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan
berdasarkan dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi
lebih pada apa yang dibutuhkan masyarakat (pelayanan merupakan fungsi
kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan target dan tujuan serta
merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang memberikan
informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan layanan,
obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang
diperlukan dalam menyediakan layanan (Jones and Pendlebury, 2000). Best
value juga menyelaraskan prioritas dan fokus nasional dengan prioritas dan
fokus daerah sehingga pengembangan layanan publik tidak tumpang tindih.
Best value menitikberatkan pada pembangunan yang berkelanjutan,
keseimbangan kualitas layanan yang disediakan dengan biaya yang dikeluarkan,
dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan layanan publik.Best
value meningkatkan akuntabilitas dengan cara konsultasi dan musyawarah
untuk memastikan adanya komunikasi yang efektif dalam komunitas daerah. Selain
itu, best value juga mensyaratkan adanya evaluasi pada setiap aspek
pekerjaan dari berbagai perspektif untuk menilai kinerja unit kerja tersebut.
Best value dapat mengadopsi teknik-teknik manajemen sektor privat seperti value
planning, value engineering, dan value analysis, serta konsep
customer value. Dengan demikian, best value dapat dikatakan
sebagai konsep pengelolaan yang berfokus pada pelanggan dan kinerja.
Penerapan
konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value
akan lebih nyata apabila sistem manajemen strategik yang berbasis Balanced
Scorecard (BSC). Sistem manajemen strategik tersebut terdiri dari sistem
perumusan strategi, sistem perencanaan strategi, sistem penyusunan program,
sistem penyusunan anggaran, sistem pengimplementasian, dan sistem pemantauan.
SISTEM PENGUKURAN KINERJA
Setelah
suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk
mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas
politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan (Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran
kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti halnya akuntabilitas
memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan mekanisme akuntabilitas,
diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat indikator kinerja dan
target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward and punishment
(Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja yang baik mempunyai
karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective, dan simple (Accounts
Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau alarm yang
menunjukkan bahwa terdapat masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan
investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus
pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses, dan orang
(pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dengan
wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran atau target, atau adanya
pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan digunakan untuk
mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya mengambil tindakan
alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah ditetapkan apabila
terjadi perubahan lingkungan.
Selama
ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, dan
sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik
memperhatikan value for money yang mempertimbangkan input, output,
dan outcome secara bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for
money, efisiensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi
(efisiensi 1), dan efisiensi teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi
terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat
kapasitas optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan
mendayagunakan sumber daya input pada tingkat output tertentu
(dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua efisiensi tersebut merupakan alat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat apabila dilaksanakan atas pertimbangan
keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat (Mardiasmo, 2002a).
Kampanye
implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik perlu
gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan
pelaksanaan good governance. Implementasi konsep tersebut diyakini dapat
memperbaiki akuntabilitas sektor publik dan memperbaiki kinerja sektor publik
dengan meningkatkan efektivitas layanan publik, meningkatkan mutu layanan
publik, menurunkan biaya layanan publik karena hilangnya inefisiensi, dan
meningkatkan kesadaran akan penggunaan uang publik (public costs awareness).
Public Sector Scorecard
Sistem
manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi konsep-konsep di atas
seperti value for money, NPM, dan best value meliputi sistem
pengukuran kinerja. Scorecard sektor publik berbeda dengan scorecard
sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus pada pelayanan masyarakat
bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders, lebih berfokus pada
kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh keadaan politik, dan
mempunyai stakeholders yang lebih beragam dibandingkan dengan sektor
swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif
yang mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard
berfokus pada strategi yang diterapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard
(Hoque, 2002), meskipun pengawasan terhadap scorecard perlu
dilakukan mengingat fokus strategi terus berubah seiring dengan perubahan
kondisi sosial ekonomi masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran
kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat perspektif BSCyaitu perspektif financial,
customer, internal business dan learning and growth (Kaplan and
Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000) secara proporsional. Dengan demikian,
pemerintah seharusnya tidak hanya diukur dengan kinerja keuangan, tetapi juga
kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara ekonomis, efisien, dan
tepat sasaran.
AKUNTANSI
KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
Akuntansi
keuangan sektor publik terkait dengan tujuan dihasilkannya laporan keuangan
eksternal. Tujuan penyajian laporan keuangan adalah memberikan informasi yang
digunakan dalam pengambilan keputusan, bukti pertanggungjawaban dan
pengelolaan, dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasional (IFAC, 2000;
GASB, 1999).
Beberapa
teknik akuntansi keuangan yang dapat diadopsi oleh sektor publik adalah
akuntansi anggaran, akuntansi komitmen, akuntansi dana, akuntansi kas, dan
akuntansi accrual. Pada dasarnya kelima teknik tersebut tidak bersifat mutually
exclusive. Artinya, penggunaan salah satu teknik akuntansi tersebut tidak
menolak penggunaan teknik yang lain. Dengan demikian, suatu organisasi dapat
menggunakan teknik akuntansi yang berbeda-beda, maupun menggunakan kelima
teknik tersebut secara bersama-sama (Jones and Pendlebury, 2000).
Isu
yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di
Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry
bookkeeping dan perubahan teknik atau sistem akuntansi berbasis kas menjadi
berbasis accrual. Single entry pada awalnya digunakan sebagai
dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring
dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan
tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena
pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang auditable.
Cash basis mempunyai kelebihan antara lain
mencerminkan informasi yang riil dan obyektif. Sedangkan kelemahannya antara
lain kurang mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Teknik akuntansi berbasis accrual
dinilai dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan
untuk pengambilan keputusan. Pengaplikasian accrual basis lebih
ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik,
sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable.
Pengaplikasian
accrual basis memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh (full
picture), yang meliputi manajemen sumber daya (resource management)
dan manajemen utang (liability management), dan menyediakan indikasi
kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen keuangan dan reformasi
manajemen lainnya (Mellor, 1996).
Penekanan
penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam GASB (1999) dan
diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going concern,
consistency of presentation, materiality and aggregation untuk mewujudkan comparative
information (IFAC, 2000). Namun demikian, accrual
accounting mempunyai beberapa kelemahan antara lain penilaian dan revaluasi
aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan estimasi dalam penghitungan
depresiasi (Conn, 1996).
Beberapa
negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan
dari cash basis menjadi accrual basis. New Zealand merupakan
contoh sukses dalam menerapkannya. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa
perubahan yang dilakukan tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di
Italia menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak memberikan kontribusi
signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan efektivitas organisasi. Oleh
karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan analisis mendalam
terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor sosiologi masyarakat
(Yamamoto, 1997).
Menurut
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya tahun
2008. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas
dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang
menyatakan bahwa laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan
dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan
pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan
ekuitas dana.
AUDITING SEKTOR PUBLIK
Pemberian
otonomi daerah berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada
daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar
tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan
keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat, serta
pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan oleh pihak luar eksekutif (dalam
hal ini DPRD dan masyarakat); pengendalian, yang berupa pengendalian internal
dan pengendalian manajemen, berada di bawah kendali eksekutif (pemerintah
daerah) dan dilakukan untuk memastikan strategi dijalankan dengan baik sehingga
tujuan tercapai; sedangkan pemeriksaan (audit) dilakukan oleh badan yang
memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur apakah kinerja eksekutif
sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2001).
Penguatan
fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai
kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial kemasyarakatan
di daerah. Perlu dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif
adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah digariskan, bukan
pemeriksaan (audit). Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau
lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, seperti BPK, BPKP,
atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang selama ini menjalankan fungsinya lebih
pada sektor swasta sehingga fungsinya pada sektor publik perlu ditingkatkan.
Harus
disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam melakukan audit
pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent
sedangkan kelemahan kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak
tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja
pemerintah. Kelemahan kedua adalah masalah kelembagaan audit Pemerintah
Pusat dan Daerah yang overlapping satu dengan lainnya, sehingga
pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif.
Sehubungan
dengan audit pemerintah, terdapat penelitian mandiri mengenai pengaruh rewards
instrumentalities dan environmental risk factors terhadap motivasi
partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah.
Penghargaan (rewards) yang diterima auditor independen pada saat
melakukan audit pemerintah dikelompokkan ke dalam dua bagian
penghargaan, yaitu penghargaan intrinsik (kenikmatan pribadi dan kesempatan
membantu orang lain) dan penghargaan ekstrinsik (peningkatan karir dan status).
Sedangkan faktor risiko lingkungan (environmental risk factors) terdiri
dari iklim politik dan perubahan kewenangan. Rincian lebih lanjut
tentang faktor penghargaan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit Pemerintah
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit Pemerintah
Penghargaan
Intrinsik
|
Penghargaan Ekstrinsik
|
Kenikmatan
Pribadi
1. Pekerjaan yang menarik
2. Stimulasi intelektual
3. Pekerjaan yang menantang (mental)
4. Kesempatan pembangunan dan pengembangan pribadi
5. Kepuasan pribadi
Kesempatan membantu
orang lain
1. Pelayanan masyarakat
2. Kesempatan membantu personal klien
3. Kesempatan bertindak sebagai mentor bagi staf audit
|
Karir
1. Keamanan/kemapanan kerja yang tinggi
2.
Kesempatan karir jangka panjang yang luas
3. Peningkatan Kompensasi
Status
1. Pengakuan positif dari masyarakat
2. Penghormatan dari masyarakat
3. Prestis atau nama baik
4. Meningkatkan status sosial
|
Sumber:
Lowehnson and Collins (2001).
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rewards instrumentalities dengan segenap
komponennya (penghargaan intrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh positif terhadap
motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah.
KAP melaksanakan audit pemerintah dilandasi keyakinan bahwa dirinya akan
memperoleh kenikmatan pribadi. Kenikmatan pribadi yang dimaksud antara lain
berupa kenikmatan meningkatkan kemampuan intelektualitas, kenikmatan
meningkatkan atau paling tidak membuka kesempatan pengembangan pribadi serta
mempertimbangkan bahwa audit pemerintah merupakan suatu pekerjaan yang
menarik dan memberikan tantangan mentalitas profesional. Partner juga
berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan audit dapat meningkatkan karir
dalam arti peningkatan kemapanan, kesempatan berkarir secara lebih luas dan
terbuka di masa mendatang, serta peningkatan kompensasi atau
penghasilan
yang diperoleh. Lebih lanjut, partner berkeyakinan akan memperoleh pengakuan
positif, penghormatan, dan nama baik atau prestis dari masyarakat, serta
peningkatan status sosial dalam masyarakat (Mardiasmo, 2002c).
Sedangkan,
faktor risiko lingkungan tidak berpengaruh negatif terhadap motivasi partner
untuk melaksanakan audit pemerintah, meskipun hubungan keduanya negatif.
Hasil penelitian memiliki implikasi bahwa banyaknya perubahan peraturan atau
regulasi yang memunculkan kewenangan baru pemerintah serta iklim politik yang
melingkupi kondisi pemerintahan disikapi secara hati-hati (ragu-ragu) oleh
partner ketika akan menerima audit pemerintah (Mardiasmo, 2002c).
Wallace
(1986) menyatakan bahwa lembaga pemerintah memiliki suatu dimensi politik dalam
pengambilan keputusan yang merupakan bagian integral dari setiap analisis.
Persaingan politik terkait dengan persaingan pemilu maupun persaingan antar
kelompok yang berkepentingan (Carpenter, 1991) meningkatkan permintaan bagi
politisi dan atau kelompok yang berkepentingan atas informasi akuntansi yang
sudah diaudit (Baber, 1994) seiring dengan adanya pertentangan politik atau
kegiatan masyarakat (Rubin, 1987 dan Baber, 1994) untuk menunjukkan ketepatan
janji-janji politik mereka sebelumnya (Baber and Sen, 1984) atau mengungkapkan
tindakan kepada pesaingnya (Baber, 1990).
Deis
dan Giroux (1992) menyatakan bahwa politisi yang menghadapi persaingan mungkin
mendesak auditor independen untuk mengeluarkan laporan audit yang
diinginkan atau mungkin tindakan auditor dimonitor oleh pelaku politik yang
berpengalaman daripada yang tidak berpengalaman, sehingga diperkirakan auditor
akan menolak lembaga pemerintah yang dibebani politik. Bentuk-bentuk auditing
yang berbeda dengan yang diminta cenderung menimbulkan konflik dengan auditee
dan menciptakan masalah politis (Power, 1999). Tingginya sorotan media pers
terhadap kinerja partner juga memiliki korelasi terhadap motivasi partner
melaksanakan audit pemerintah.
Reposisi
lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan
efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas ke dalam kategori
auditor internal dan eksternal (Mardiasmo, 2003b). Audit internal dilakukan
oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian dari organisasi yang diperiksa.
Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit pemeriksa yang berada di luar
organisasi yang diperiksa dan bersifat independen. Dalam hal ini yang bertindak
sebagai auditor eksternal pemerintah adalah BPK yang merupakan lembaga
independen dan merupakan supreme auditor sesuai dengan Undang-Undang No.
17 Tahun 2003.
Memperkuat
Value For Money (VFM) Audit
Good governance akan tercapai jika lembaga pemeriksa
berfungsi dan tertata dengan baik. Setelah itu, pengembangan pengauditan perlu
dilakukan. Salah satunya dengan memperluas cakupan audit, tidak hanya audit
keuangan (financial audit) tetapi juga value for money audit
atau sering disebut performance audit. Audit kinerja merupakan
suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara
obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan
efisiensi operasi serta efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan, dan
kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan, dan hukum yang berlaku, serta
menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak
pengguna laporan tersebut (Malan et al., 1984).
Secara
lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi dan
efisiensi (management audit) dan audit efektivitas (program
audit) (Herbert, 1979). Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk
menentukan: (1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan
menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor)
secara hemat (ekonomis) dan efisien, (2) penyebab ketidakhematan dan
ketidakefisienan, dan (3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kehematan dan efisiensi. Sedangkan, audit
efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program,
efektivitas pelaksanaan program, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pelaksanaan program (Malan et al., 1984).
Tujuan memperkuat pelaksanaan VFM audit adalah
meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Hal ini penting untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Nantinya DPR atau DPRD,
menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah, harus memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan akhirnya
akuntabilitas publik merupakan bagian penting dari sistem politik dan
demokrasi.
PENUTUP
Akuntansi manajemen harus dapat memberikan informasi
yang relevan dan handal melalui strategic planning, strategic cost
management, dan strategic management accounting untuk dapat
menerapkan NPM, melaksanakan value for money untuk penentuan biaya dan
harga layanan publik, serta pengukuran kinerja pengelolaan dalam kerangka best
value performance dan public sector scorecard.
Laporan
Keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai bentuk akuntabilitas
publik, seharusnya mengambarkan kondisi yang komprehensif tentang kegiatan
operasional, posisi keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure) atas
pos-pos yang ada di dalam laporan keuangan tersebut. Laporan Keuangan
memerlukan perangkat yang berupa standar akuntansi pemerintahan dan sistem
akuntansi yang menggunakan sistem pencatatan berpasangan.
Audit
terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan seharusnya tidak terbatas pada
audit kepatuhan, tetapi juga audit keuangan (agar dapat memberikan pendapat
atas kewajaran Laporan Keuangan), dan diperluas lagi dengan audit kinerja.
Audit kinerja tersebut merupakan suatu bentuk evaluasi pertanggungjawaban
kinerja sebagai sarana untuk memastikan bahwa value for money benar-benar
telah diaplikasikan.
Dengan
demikian, akuntansi sektor publik, yang diartikulasikan melalui akuntansi
manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing sektor publik sudah sangat
mendesak pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai alat untuk mewujudkan
transparansi dan akuntabilitas publik dalam mencapai good governance
0 komentar:
Posting Komentar